Sejarah
Kretek Jawa
Judul: Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya
Penulis: Rudy Badil
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Halaman: xxvii + 171 halaman
Terbit: Agustus 2011
Harga: Rp. 175.000 (soft cover)
Kisah kretek bermula dari kota Kudus. Tak jelas memang asal
usul yang akurat tentang rokok kretek. Menurut kisah yang hidup dikalangan para
pekerja pabrik rokok, riwayat kretek bermula dari penemuan Haji Djamari pada
kurun waktu sekitar akhir abad ke-19. Awalnya, penduduk asli Kudus ini
merasa sakit pada bagian dada. Ia lalu mengoleskan minyak cengkeh.
Setelah itu, sakitnya pun reda. Djamari lantas bereksperimen merajang cengkeh
dan mencampurnya dengan tembakau untuk dilinting menjadi rokok.
Kala itu melinting rokok sudah menjadi kebiasaan kaum pria.
Djamari melakukan modifikasi dengan mencampur cengkeh. Setelah rutin menghisap
rokok ciptaannya, Djamari merasa sakitnya hilang. Ia mewartakan penemuan ini
kepada kerabat dekatnya. Berita ini pun menyebar cepat. Permintaan "rokok
obat" ini pun mengalir. Djamari melayani banyak permintaan rokok cengkeh.
Lantaran ketika dihisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi
"keretek", maka rokok temuan Djamari ini dikenal dengan "rokok
kretek". Awalnya, kretek ini dibungkus klobot atau daun jagung kering.
Dijual per ikat dimana setiap ikat terdiri dari 10, tanpa selubung kemasan sama
sekali. Rokok kretek pun kian dikenal. Konon Djamari meninggal pada 1890. Identitas dan
asal-usulnya hingga kini masih samar. Hanya temuannya itu yang terus
berkembang.ada pula yang mengatakan Lalu dari mana asal-usul kata kretek?
Kretek diperkirakan muncul berdasarkan onomatope atau sebutan yang dimunculkan
berdasarkan bunyi. Hal ini disebabkan rokok tembakau yang ditambah cengkeh akan
menimbulkan bunyi kretek-kretek.
Sepuluh tahun kemudian, penemuan Djamari menjadi dagangan
memikat di tangan Nitisemito, perintis industri rokok di Kudus. Bisnis rokok
dimulai oleh Nitisemito pada 1906 dan pada 1908 usahanya resmi
terdaftar dengan merek "Tjap Bal Tiga". Bisa dikatakan langkah
Nitisemito itu menjadi tonggak tumbuhnya industri rokok kretek di Indonesia.
Menurut beberapa babad legenda yang beredar di Jawa, rokok
sudah dikenal sudah sejak lama. Bahkan sebelun Haji Djamari dan Nitisemito
merintisnya. Tercatat dalam Kisah Roro
Mendut, yang menggambarkan seorang putri dari Pati yang dijadikan
istri oleh Tumenggung Wiroguno, salah
seorang panglima perang kepercayaan Sultan Agung menjual
rokok "klobot" (rokok kretek dengan bungkus daun jangung kering) yang
disukai pembeli terutama kaum laki-laki karena rokok itu direkatkan dengan
ludahnya.
Nitisemito seorang buta huruf, putra Ibu Markanah di desa
Janggalan dengan nama kecil Rusdi. Ayahnya, Haji Sulaiman adalah kepala desa
Janggalan. Pada usia 17 tahun, ia mengubah namanya menjadi Nitisemito. Pada
usia tersebut, ia merantau ke Malang, Jawa Timur untuk bekerja sebagai buruh
jahit pakaian.
Usaha ini berkembang sehingga ia mampu menjadi pengusaha konfeksi. Namun
beberapa tahun kemudian usaha ini kandas karena terlilit hutang. Nitisemito
pulang kampung dan memulai usahanya membuat minyak kelapa, berdagang kerbau
namun gagal. Ia kemudian bekerja menjadi kusir dokar sambil
berdagang tembakau. Saat itulah dia berkenalan dengan Mbok Nasilah, pedagang
rokok klobot di Kudus.
Mbok Nasilah, yang juga dianggap sebagai penemu pertama rokok
kretek, menemukan rokok kretek untuk menggantikan kebiasaan nginang pada
sekitar tahun 1870.
Di warungnya, yang kini menjadi toko kain Fahrida di Jalan Sunan Kudus, Mbok
nasilah menyuguhkan rokok temuannya untuk para kusir yang sering mengunjungi
warungnya. Kebiasaan nginang yang sering dilakukan para kusir
mengakibatkan kotornya warung Mbok Nasilah, sehingga dengan menyuguhkan rokok,
ia berusaha agar warungnya tidak kotor. Pada awalnya ia mencoba meracik rokok.
Salah satunya dengan menambahkan cengkeh ke tembakau. Campuran ini kemudian
dibungkus dengan klobot atau daun jagung kering dan diikat dengan
benang. Rokok ini disukai oleh para kusir dokar dan pedagang keliling. Salah
satu penggemarnya adalah Nitisemito yang saat itu menjadi kusir.
Nitisemito lantas menikahi Nasilah dan mengembangkan usaha
rokok kreteknya menjadi mata dagangan utama. Usaha ini maju pesat. Nitisemito
memberi label rokoknya "Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo" (Rokok Cap Kodok
makan Ular). Nama ini tidak membawa hoki malah menjadi bahan
tertawaan. Nitisemito lalu mengganti dengan Tjap Bulatan Tiga. Lantaran
gambar bulatan dalam kemasan mirip bola, merek ini kerap disebut Bal Tiga.
Julukan ini akhirnya menjadi merek resmi dengan tambahan Nitisemito (Tjap Bal
Tiga H.M. Nitisemito).
Bal Tiga resmi berdiri pada 1914 di Desa Jati, Kudus. Setelah
10 tahun beroperasi, Nitisemito mampu membangun pabrik besar diatas lahan 6
hektare di Desa jati. Ketika itu, di Kudus telah berdiri 12 perusahaan rokok
besar, 16 perusahaan menengah, dan tujuh pabrik rokok kecil (gurem). Di antara
pabrik besar itu adalah milik M. Atmowidjojo (merekGoenoeng Kedoe), H.M Muslich
(merek Delima), H. Ali Asikin (merek Djangkar), Tjoa Khang Hay (merek Trio),
dan M. Sirin (merek Garbis & Manggis).
Sejarah mencatat Nitisemito mampu mengomandani 10.000 pekerja
dan memproduksi 10 juta batang rokok per hari 1938. Kemudian untuk
mengembangkan usahanya, ia menyewa tenaga pembukuan asal Belanda.
Pasaran produknya cukup luas, mencakup kota-kota di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan bahkan
ke Negeri Belanda sendiri. Ia kreatif memasarkan produknya, misalnya dengan
menyewa pesawat terbang Fokker seharga 200 gulden saat
itu untuk mempromosikan rokoknya ke Bandung dan Jakarta
Kretek bukan sekadar komoditi. Dalam perjalanan
sejarahnya ia juga membentuk sebuah kultur. Tidak hanya memasyarakatnya
kebiasaan mengisap kretek, namun juga dampak industrialisasi kretek itu
sendiri. Kebiasaan mengisap rokok sebenarnya sudah lama dikenal oleh
masyarakat, khususnya Jawa. Sejumlah sumber susastra lama menyiratkan hal itu,
meskipun tidak ada kejelasan apakah apa yang mereka isap saat itu merupakan
rokok tembakau seperti yang kita kenal sekarang.
Menurut hasil rieset Zoetmulder yang dikutip dalam buku ini,
dalam kitab-kitab lama ada kata dasar udud yang diartikan sebagai
rokok. Jika benar kata udud memiliki arti rokok seperti yang dikenal
dalam bahasa Jawa saat ini, maka itu berarti kebiasaan merokok sudah dikenal
lama dalam masyarakat Jawa. Ada beberapa hal menarik yang disampaikan dalam
buku ini. Salah satunya adalah mengenai buruh pabrik kretek. Sebuah pabrik
kretek besar di Kudus, Jawa Tengah, misalnya, menjadi gantungan hidup bagi
75.000 buruh, baik dari Kudus ataupun kota-kota di sekitarnya.
Para buruh ini terutama bekerja untuk memproduksi kretek
lintingan. Kretek lintingan tidak diproduksi dengan mesin, melainkan
mengandalkan kelincahan, kecepatan dan keterampilan jemari para buruh. Dari
data yang ada, kehadiran para buruh kretek ini berhasil menggerakkan roda
ekonomi lainnya. Sebut saja pemilik mobil angkutan umum, perahu penyeberangan,
hingga para pedagang, rentenir, penitipan sepeda, yang hadir saat pasar dadakan
muncul di sekitar brak (barak) penampungan para buruh.
Dapat diduga, akan ada banyak sendi ekonomi rakyat yang
lumpuh jika industri rokok mengalami kebangkrutan. Apalagi kini kampanye anti
rokok kian gencar. Tampaknya otoritas terkait harus memberikan solusi jika
memang industri rokok harus dibatasi. Hal menarik lain yang diungkap dalam buku
ini adalah mengenai label produk kretek yang beredar di pasaran. Dalam buku ini
terungkap, pemberian label tidak sekadar perkara visual, namun juga bentuk
simbolik dari ruang lingkup kebudayaan di jamannya, yang disebut juga sebagai
“simbol ekspresif”.
Lalu bagaimana dengan merek? Merek pun memiliki cerita lain.
Buku ini mengungkapkan merek atau brand kretek selalu berkaitan dengan
filosofi, keyakinan, dan inspirasi. Merek seakan memiliki kebermaknaan, baik
bagi produsen kretek maupun konsumennya. Memilih merek pun sering dilakukan
dengan berbagai cara, misalnya mengaitkannya dengan harapan-harapan, falsafah
yang diyakini akan membawa dampak positif. Etnis Tionghoa misalnya
mengombinasikan benda ataupun angka agar produknya lebih mudah diterima
masyarakat.
Buku ini secara umum berisi sejarah industri kretek, terutama
sebelum masa kemerdekaan. Dari paparan sejarah tersebut pembaca dapat melihat
pasang surut indutri kretek di Jawa. Dari sini dapat dinilai pengelolaan
komoditi secara benar dapat memberikan banyak manfaat bagi pendapatan Negara.